Selasa, 19 April 2011

PENGALAMAN MATI SURI

Kesaksian Warga Bengkalis yang Mati Suri dalam Temu Alumni ESQ
''Menyaksikan Orang Disiksa dan Ingin Kembali ke Dunia''
Laporan Idris Ahmad - Pekanbaru

Pengalaman mati suri seperti yang dialami Aslina, telah pula dirasakan banyak orang. Seorang peneliti dan meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Virginia Dr Raymond A Moody pernah meneliti fenomena ini. Hasilnya orang mati suri rata-rata memiliki pengalaman yang hampir sama. Masuk lorong waktu dan ingin dikembalikan ke dunia.

Berikut catatan Riau Pos yang turut serta mendengarkan kesaksian Aslina dalam temu Alumni ESQ (emotional, spiritual, quotient) Ahad (24/9) di Hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru.

Catatan ini dilengkapi pula dengan penjelasan instruktur ESQ Legisan Sugimin yang mengutip Al-Quran yang menjelaskan orang yang mati itu ingin dikembalikan ke dunia, serta penelusuran melalui internet tentang Dr Raymond.

Bagi pembaca yang ingin mengetahui perihal Dr Raymond dapat membuka situs www.lifeafterlife.com dan hasil penelitian Raymond tentang mati suri dapat dibaca di buku Life After Life.

Aslina adalah warga Bengkalis yang mati suri 24 Agustus 2006 lalu. Gadis berusia sekitar 25 tahun itu memberikan kesaksian saat nyawanya dicabut dan apa yang disaksikan ruhnya saat mati suri.

Sebelum Aslina memberi kesaksian, pamannya Rustam Effendi memberikan penjelasan pembuka. Aslina berasal dari keluarga sederhana, ia telah yatim. Sejak kecil cobaan telah datang kepada dirinya.
Pada umur tujuh tahun tubuhnya terbakar api sehingga harus menjalani dua kali operasi. Menjelang usia SMA ia termakan racun. Tersebab itu ia menderita selama tiga tahun. Pada umur 20 tahun ia terkena gondok (hipertiroid). Gondok tersebut menyebabkan beberapa kerusakan pada jantung dan matanya. Karena penyakit gondok itu maka Jumat, 24 Agustus 2006 Aslina menjalani check-up atas gondoknya di Rumah Sakit Mahkota Medical Center (MMC) Melaka Malaysia . Hasil pemeriksaan menyatakan penyakitnya di ambang batas sehingga belum bisa dioperasi.

''Kalau dioperasi maka akan terjadi pendarahan,'' jelas Rustam. Oleh karena itu Aslina hanya diberi obat. Namun kondisinya tetap lemah. Malamnya Aslina gelisah luar biasa, dan terpaksa pamannya membawa Aslina kembali ke Mahkota sekitar pukul 12 malam itu. Ia dimasukkan ke unit gawat darurat (UGD), saat itu detak jantungnya dan napasnya sesak. Lalu ia dibawa ke luar UGD masuk ke ruang perawatan. ''Aslina seperti orang ombak (menjelang sakratulmaut, red). Lalu saya ajarkan kalimat thoyyibah dan syahadat. Setelah itu dalam pandangan saya Aslina menghembuskan nafas terakhir,'' ungkapnya. Usai Rustam memberi pengantar, lalu Aslina memberikan kesaksiaanya.

''Mati adalah pasti. Kita ini calon-calon mayat, calon penghuni kubur,'' begitu ia mengawali kesaksiaanya setelah meminta seluruh hadirin yang memenuhi Grand Ball Room Hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru tersebut membacakan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Tak lupa ia juga menasehati jamaah untuk memantapkan iman, amal dan ketakwaan sebelum mati datang. ''Saya telah merasakan mati,'' ujar anak yatim itu. Hadirin terpaku mendengar kesaksian itu. Sungguh, lanjutya, terlalu sakit mati itu.

Diceritakan, rasa sakit ketika nyawa dicabut itu seperti sakitnya kulit hewan ditarik dari daging, dikoyak. Bahkan lebih sakit lagi. ''Terasa malaikat mencabut (nyawa, red) dari kaki kanan saya,'' tambahnya. Di saat itu ia sempat diajarkan oleh pamannya kalimat thoyibah. ''Saat di ujung napas, saya berzikir,'' ujarnya. ''Sungguh sakitnya, Pak, Bu,'' ulangnya di hadapan lebih dari 300 alumni ESQ Pekanbaru.

Diungkapkan, ketika ruhnya telah tercabut dari jasad, ia menyaksikan di sekelilingnya ada dokter, pamannya dan ia juga melihat jasadnya yang terbujur. Setelah itu datang dua malaikat serba putih mengucapkan Assalaimualaikum kepada ruh Aslina. ''Malaikat itu besar, kalau memanggil, jantung rasanya mau copot, gemetar,'' ujar Aslina mencerita pengalaman matinya. Lalu malaikat itu bertanya: ''siapa Tuhanmu, apa agamamu, dimana kiblatmu dan siapa nama orangtuamu.'' Ruh Aslina menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar. Lalu ia dibawa ke alam barzah. ''Tak ada teman kecuali amal,'' tambah Aslina yang Ahad malam itu berpakaian serba hijau. Seperti pengakuan pamannya, Aslina bukan seorang pendakwah, tapi malam itu ia tampil memberikan kesaksian bagaikan seorang muballighah. Di alam barzah ia melihat seseorang ditemani oleh sosok yang mukanya berkudis, badan berbulu dan mengeluarkan bau busuk. Mungkin sosok itulah adalah amal buruk dari orang tersebut.

Aslina melanjutkan. ''Bapak, Ibu, ingatlah mati,'' sekali lagi ia mengajak hadirin untuk bertaubat dan beramal sebelum ajal menjemput. Di alam barzah, ia melanjutkan kesaksiannya, ruh Aslina dipimpin oleh dua orang malaikat. Saat itu ia ingin sekali berjumpa dengan ayahnya. Lalu ia memanggil malaikat itu dengan ''Ayah''. ''Wahai ayah bisakah saya bertemu dengan ayah saya,'' tanyanya. Lalu muncullah satu sosok. Ruh Aslina tak mengenal sosok yang berusia antara 17-20 tahun itu. Sebab ayahnya meninggal saat berusia 65 tahun. Ternyata memang benar, sosok muda itu adalah ayahnya. Ruh Aslina mengucapkan salam ke ayahnya dan berkata: ''Wahai ayah, janji saya telah sampai.'' Mendengar itu ayah saya saya menangis.Lalu ayahnya berkata kepada Aslina. ''Pulanglah ke rumah, kasihan adik-adikmu.'' ruh Aslina pun menjawab. ''Saya tak bisa pulang, karena janji telah sampai''. Usai menceritakan dialog itu, Aslina mengingatkan kembali kepada hadirin bahwa alam barzah dan akhirat itu benar-benar ada.

''Alam barzah, akhirat, surga dan neraka itu betul ada. Akhirat adalah kekal,'' ujarnya bak seorang pendakwah. Setelah dialog antara ruh Aslina dan ayahnya. Ayahnya tersebut menunduk. Lalu dua malaikat memimpinnya kembali, ia bertemu dengan perempuan yang beramal shaleh yang mukanya bercahaya dan wangi. Lalu ruh Aslina dibawa kursi yang empuk dan didudukkan di kursi tersebut, di sebelahnya terdapat seorang perempuan yang menutup aurat, wajahnya cantik. Ruh Aslina bertanya kepada perempuan itu. ''Siapa kamu?'' lalu perempuan itu menjawab.''Akulah (amal) kamu.''

Selanjutnya ia dibawa bersama dua malaikat dan amalnya berjalan menelurusi lorong waktu melihat penderitaan manusia yang disiksa. Di sana ia melihat seorang laki-laki yang memikul besi seberat 500 ton, tangannya dirantai ke bahu, pakaiannya koyak-koyak dan baunya menjijikkan. Ruh Aslina bertanya kepada amalnya.''Siapa manusia ini?'' Amal Aslina menjawab orang tersebut ketika hidupnya suka membunuh orang. Lalu dilihatnya orang yang yang kulit dan dagingnya lepas. Ruh Aslina bertanya lagi ke amalnya tentang orang tersebut. Amalnya mengatakan bahwa manusia tersebut tidak pernah shalat bahkan tak bisa mengucapkan dunia kalimat syahadat ketika di dunia. Selanjutnya tampak pula oleh ruh Aslina manusia yang dihujamkan besi ke tubuhnya. Ternyata orang itu adalah manusia yang suka berzina. Tampak juga orang saling bunuh, manusia itu ketika hidup suka bertengkar dan mengancam orang lain.

Dilihatkan juga pada ruh Aslina, orang yang ditusuk dengan 80 tusukan, setiap tusukan terdapat 80 mata pisau yang tembus ke dadanya, lalu berlumuran darah, orang tersebut menjerit dan tidak ada yang menolongnya. Ruh Aslina bertanya pada amalnya. Dan dijawab orang tersebut adalah orang juga suka membunuh. Tampak pula orang berkepala babi dan berbadan babi. Orang tersebut adalah orang yang suka berguru pada babi. Ada pula orang yang dihempaskan ke tanah lalu dibunuh. Orang tersebut adalah anak yang durhaka dan tidak mau memelihara orang tuanya ketika di dunia. Perjalanan menelusuri lorong waktu terus berlanjut. Sampailah ruh Aslina di malam yang gelap, kelam dan sangat pekat sehingga dua malaikat dan amalnya yang ada disisinya tak tampak. Tiba-tiba muncul suara orang mengucap : Subnallah, Alhamdulillah dan Allahu Akbar. Tiba-tiba ada yang mengalungkan sesuatu di lehernya. Kalungan itu ternyata tasbih yang memiliki biji 99 butir.

Perjalanan berlanjut. Ia nampak tepak tembaga yang sisi-sisinya mengeluarkan cahaya, di belakang tepak itu terdapat gambar kakbah. Di dalam tepak terdapat batangan emas. Ruh Aslina bertanya pada amalnya tentang tepak itu. Amalnya menjawab tepak tersebut adalah husnul khatimah. (Husnul khatimah secara literlek berarti akhir yang baik. Yakni keadaan dimana manusia pada akhir hayatnya dalam keadaan (berbuat) baik,red). Selanjutnya ruh Aslina mendengarkan azan seperti azan di Mekkah. Ia pun mengatakan kepada amalnya. ''Saya mau shalat.'' Lalu dua malaikat yang memimpinnya melepaskan tangan ruh Aslina. ''Saya pun bertayamum, saya shalat seperti orang-orang di dunia shalat,'' ungkap Aslina.

Selanjutnya ia kembali dipimpin untuk melihat Masjid Nabawi. Lalu diperlihatkan pula kepada ruh Aslina, makam Nabi Muhammad SAW. Dimakam tersebut batangan-batangan emas di dalam tepak ''husnul khatimah'' itu mengeluarkan cahaya terang. Berikutnya ia melihat cahaya seperti matahari tapi agak kecil. Cahaya itu pun bicara kepada ruh Aslina. ''Tolong kau sampaikan kepada umat, untuk bersujud di hadapan Allah.''Selanjutnya ruh Aslina menyaksikan miliaran manusia dari berbagai abad berkumpul di satu lapangan yang sangat luas. Ruh Aslina hanya berjarak sekitar lima meter dari kumpulan manusia itu. Kumpulan manusia itu berkata. ''Cepatlah kiamat, aku tak tahan lagi di sini Ya Allah.'' Manusia-manusia itu juga memohon. ''Tolong kembalikan aku ke dunia, aku mau beramal.''
Begitulah di antara cerita Aslina terhadap apa yang dilihat ruhnya saat ia mati suri. Dalam kesaksiaannya ia senantiasa mengajak hadirin yang datang pada pertemuan alumni ESQ itu untuk bertaubat dan beramal shaleh serta tidak melanggar aturan Allah.

Setelah kesaksian Aslina, instruktur Pelatihan ESQ Legisan Sugimin yang telah mendapat lisensi dari Ary Ginanjar (pengarang buku sekaligus penemu metode Pelatihan ESQ) menjelaskan bahwa fenomena mati suri dan apa yang disaksikan oleh orang yang mati suri pernah diteliti ilmuan Barat.
Legisan mengemukakan pula, mungkin di antara alumni ESQ yang hadir pada Ahad (24/9) malam itu ada yang tidak percaya atau ragu terhadap kesaksian Aslina. Tapi yang jelas, lanjutnya, rata-rata orang yang mati suri merasakan dan melihat hal yang hampir sama. ''Apa yang disampaikan Aslina, mungkin bukti yang ditunjukkan Allah kepada kita semua,'' ujarnya.Legisan menjelaskan penelitian oleh Dr Raymond A Moody Jr tentang mati suri. Raymond mengemukakan orang mati suri itu dibawa masuk ke lorong waktu, di sana ia melihat rekaman seluruh apa yang telah ia lakukan selama hidupnya. Dan diakhir pengakuan orang mati suri itu berkata: ''Dan aku ingin agar aku dapat kembali dan membatalkan semuanya.''

Menanggapi kesaksian Aslina yang melihat orang-orang berteriak ingin dikembalikan ke dunia dan ingin beramal serta penelitian Raymond yang menyebutkan ''aku ingin agar aku dapat kembali dan membatalkan semuanya,'' Legisan mengutip ayat Al-Quran Surat Al-Mu'muninun (23) ayat 99-100:
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata:''Ya, Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia).''(99). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.(100).

Sebagai penguat dalil agar manusia bertaubat, dikutipkan juga Quran Surat Az-Zumar ayat 39: ''Dan kembalilah kamu kepada Tuhan-Mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).''Usai pertemuan alumni itu, Aslina meminta nasehat dari Legisan. Intruktur ESQ itu menyarankan agar Aslina senatiasa berdakwah dan menyampaikan kesaksiaannya saat mati suri kepada masyarakat agar mereka bertaubat dan senantiasa mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Setelah acara, banyak di antara alumni yang bersimpati dan ingin membantu pengobatan sakit gondoknya. Para hadirinpun menyempat diri untuk berfoto bersama Aslina. Semoga pembaca dapat mengambil pelajaran dari kesaksiaan Aslina.***

SUMBER ::::: http://bulir.blogspot.com/2006/10/pengalaman-mati-suri.html

Minggu, 03 April 2011

USAHA PEMERINTAH MENGATASI PENGGANGGURAN

USAHA PEMERINTAH MENGATASI PENGGANGGURAN


Pengangguran dapat digambarkan sebagai seuatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum mendapatkan pekerjaan tersebut. Dalam sejarah umat manusia fenomena pengangguran ini terus terjadi dalam keadaan yang sunatullah. Keadaan yang sunatullahfull employment). ini menjadi kesimpulan para ilmuan untuk menyepakati bahwa angka pengangguran tidak mungkin nol persen atau tingkat tenaga kerja penuh (
Pertentangan paling alot di pembahasan ekonomi dalam masalah pengangguran ini terjadi pada mazhab klasik yang di usung Adam Smith dan mazhab Keynesian yang di populeri oleh Keynes sendiri. Kedua mazhab besar ekonomi ini yang menjadi rujukan mahasiswa eknomi untuk di pelajari pengangguran. Mazhab klasik selalu mengatakan bahwa meskipun terjadi pengangguran secara otomatis pasar selalu akan menyerap kelebihan pengangguran ini. Sebaliknya Keynes selalu berpendapat bahwa pengangguran memang ada dan perlunya suatu langkah untuk mengatasi pengangguran ini.
Menurut Pusat Penelitian Ekonomi LIPI angka pengangguran Indonesia pada tahun 2007 diprediksi 12,7 juta jiwa dengan jumlah penduduk miskin mencapai 45,7 juta jiwa. Dibandingkan tahun sebelumnya angka pengangguran Indonesia adalah 11 juta jiwa. Artinya terjadi kenaikan yang di prediksi sebesar 1,7 juta jiwa. Hal ini jelas terlihat dimana begitu banyak masyarakat berkeluh kesah susahnya mencari pekerjaan pasa saat sekarang. Atau kita bisa lihat setiap kali Expo tenaga kerja baik di Jakarta maupun di Riau seperti yang baru-baru ini diadakan selalu dikunjunggi ribuan tenaga kerja yang ingin mendapatkan pekerjaan seperti mana penerimaan calon pegawai negri sipil.
Dari sekian banyak teori tentang pengentasan kemiskinan oleh para ahli, ada suatu kebijakan yang selalu menjadi referensi untuk mengatasi masalah pengangguran yaitu “kita harus memberi pancing, jangan memberi umpan”. Maksud dari pernyataan ini adalah pengentasan kemiskinan harus dengan membangun suatu sistim yang mampu meningkatkan kemampuan para pencari kerja yang pada tahap berikut diharapkan pencari kerja mampu mandiri. Tidak sekedar mengharapkan bantuan orang lain. Jika kita memberi umpan seperti yang dilakukan pemerintah dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) maka hanya menyebabkan masyarakat semakin malas. Terbukti cara ini tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sudah idealkah kebijakan ini?

Teladan Islam Dalam Pengentasan Pengangguran

Merujuk pada permasalahan diatas sebenarnya Islam telah mengajarkan cara yang paling ideal dalam mengatasi pengangguran. Suatu ketika datang kepada Rasulullah dari kalangan Anshar untuk meminta-minta (pengemis). Lalu Rasulullah bertanya kepada pengemis tersebut, “Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?” Pengemis itu menjawab, “Saya mempunyai pakaian dan cangkir.” Kemudian Rasulullah mengambil sebahagian pakaian dan cangkir tersebut untuk di jual kepada para sahabat. Salah seorang sahabat sanggup membeli barang-barang tersebut seharga dua dirham. Selanjutnya Rasulullah membagi uang yang di dapat tersebut untuk sebahagaian dibelikan keperluan kebutuhan keluarga pengemis tersebut dan sebahagian lagi dibelikan kapak sebagai sarana untuk berusaha mencari kayu bakar. Akhirnya dengan usahanya sang pengemis mendapatkan uang sebanyak sepuluh dirham.
Kisah ini sudah terlalu sering kita dengar akan tetapi jarang kita mau mengambil hikmah untuk menganalisa suatu permasalahan hidup. Khusus dalam permasalahan pengangguran hal ini dapat menjadi cara yang ideal untuk diterapkan.
Kembali pada pernyataan pertama, “kita berikan pancing, jangan memberi umpan” adalah kebijakan yang lemah. Coba kita bayangkan orang yang sedang memancing, mengharapkan ikan akan tersangkut di mata kail dengan penuh ketidak pastian. Jika dapat syukur, jika tidak dapat maka pemancing (pengangguran) akan mati kelaparan.
Bagaimana dengan tauladan Rasulullah yang ditujukan oleh pengemis tadi? Rasulullah tidak langsung memerintahkan pada pengemis itu untuk membeli kapak, tetapi membelikan kebutuhan pokok (primer) terlebih dahulu. Setelah kebutuhan pokok nya terpenuhi maka barulah Rasulullah memerintahkan untuk membeli kampak. Dimana perbedaannya? Perbedaannya jelas sangat jauh, Rasulullah memikirkan kebutuhan hidup sang pengangguran kemudian membantunya dalam melihat peluang usaha. Jika pada hari pertama pengemis tadi tidak mendapatkan penghasilan dari berjualan kayu bakar, ia tidak perlu terlalu susah hati karena sebagian uang telah dibelikan kebutuhan pokoknya.
Hal yain yang menjadi pelajaran dari kisah tersebut adalah Rasulullah tidak suka kita sebagai manusia menjadi pemalas. Dalam Islam tangan diatas lebih baik dari pada tangan yang selalu dibawah.
Contoh tersebut layak untuk dijadikan acuan berfikir oleh pemerintah bagaimana seharusnya membuat sebuah kebijakan yang benar dan baik untuk mengatasi tingkat pengangguran yang semakin hari semakin meningkat ini. Tidak lagi sekedar umpan, atau sekedar pancing tetapi harus berjalan keduanya sekaligus.


Kebijakan yang Perlu Lakukan


Untuk aplikasinya ada baiknya pemerintah tetap mendata pengangguran dan kemiskinan secara tepat tanpa kepentingan apapun dan sekaligus mencari jalan keluar untuk masalah ini. Mungkin banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah mengatasi masalah pengangguran.
Pertama, menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Keadaan politik dan ekonomi yang stabil harus terus dipertahankan agar dunia usaha baik pengusaha dalam dan luar negri merasa nyaman dalam menjalankan usahanya. Bangkitnya dunia usaha (sektor riil) akan menyerap pengangguran yang ada. Administrasi birokrasi harus seefesian mungkin. Jangan jadikan biriksasi yang bertele-tele membuat pengusaha jadi enggan dalam memulai suatu usaha. Apalagi cara ini akan meningkatkan biaya produksi perusahaan.
Kedua, meningkatkan kemampuan kerja. Pengangguran di Indonesia disebabkan salah satunya karena kemampuan tenaga kerja (skill) kita yang rendah. Untuk hal ini pemerintah harus terus menjaga kualitas pendidikan dan pelatihan yang baik. Kejadian Ujian Nasional di beberapa daerah menjadi pelajaran yang amat berharga untuk mengevaluasi kembali apakah kebijakan ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Masih banyak lagi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menekan angka pengangguran. Yang perlu selalu di ingat adalah pengangguran sangat dekat dengan kemiskinan. Dan kemiskinan pasti akan menyimpan potensi konflik yang besar.
Mudah-mudahan apa yang pernah di ajarkan Rasulullah daluhu dapat membantu kita sebagai umat khususnya pemegang kebijakan untuk berbuat lebih baik lagi. Dan semoga Allah STW selalu memberi jalan yang terang untuk kita dalam menghadapi permasalahan bangsa yang kompleks ini. Amin.

SUMBER  :  http://viepanda.student.umm.ac.id/2010/02/05/21/

Kamis, 31 Maret 2011


EDUCATION SYSTEM IN AMERICA
ABSTRAK
Move beyond reform, teacher education programs need to be changed to better prepare teachers, school counselors, and administrators to teach, guide, and lead in a complex society. Educators must have the skills, knowledge, and commitment to be part of the leadership team that assumes responsibility to carry the mantra of the transformation process. This spell will require faculty to remove the silo in schools and on university campuses and collaborate with each other and community members are essential to prepare prospective educators who will inherit responsibility for redesigning American schools for more interactive reality, environment interdisciplinary learning. This article briefly reviews the history of reform and explain some of the potentially transformative initiatives currently under way to redefine and strengthen teacher education programs.


1 INTRODUCTION
The growing development and diffusion of Mobile and Wireless Information Technologies (MWIT) create possibilities of enhancement and redesign in organizational and educational context processes. Among them, MWITs can contribute to teaching and learning processes not being limited to environments traditionally dedicated to this purpose and enable learning to occur in any setting or at any moment, according to organizational and individual needs.
A recent idea is called Mobile Learning or m-learning. This concept refers to teaching and learning processes that occur with the support of MWITs, involving mobility of human subjects who can be physically/ geographically far from each other and far from formal educational physical spaces, such as classrooms, training/ graduation/ qualification rooms or workplaces.
This idea is especially valid if we consider that, through the growing development of activities related to services - that occur in different settings, not only in fixed places, such as factories - mobility now represents a constant in the lives of many workers in the most diverse fields of work (Kristoffersen and Ljungberg, 2000). Thus, it has become important that learning can be accomplished in various settings and with flexible hours, allowing mobile professionals to stay where they need to be: in the field, handling customers, providing services, doing business, developing projects.
This presents a meaningful change in the logic of teaching and learning processes. Needs are emerging, subject to the context where learners are found, that makes it increasingly necessary to be updated and learn on a continuous basis to meet all the demands of a dynamic, competitive and quite unpredictable market.
In this scenario, formative processes should not be restricted to absorption of information. One should, however, understand the context related to the development of competences, which is the capacity that individuals have to integrate and mobilize not only their knowledge, but also their skills and attitudes in work activities, especially in relation to unpredicted and emerging situations (Perrenoud, 1997). Competences are developed, by definition, in situated actions.
Through this context, this article reports the results of research that addresses the following question: what are the real possibilities of M-learning (Mobile Learning) for the development of individual competences and also for the cooperation in the organizational context? This project aims to contribute to answering this question, by analyzing a real m-learning experience in enabling professionals.
A virtual learning environment was developed and applied, called COMTEXT (an acronym that stands for COMpetence in conTEXT), which was created as a tool to test concepts related to learning, the development of competences and m-learning, aiming to contribute to the understanding of the possibilities that MWITs may create for these processes. COMTEXT was used as a platform to do a workshop with a team of IT professionals from one of the largest private universities in the country.
In this article, the m-learning experience is analyzed from the standpoint of the acceptance and usability of the applied m-learning solution, considering user perception, as well as the possibilities and limitations of this kind of tool in corporate training activities.
American education is a complex topic because a single school can draw upon resources from several different public and private institutions. For example, a student may attend a private high school whose curriculum must meet standards set by the state, some of whose science courses may be financed by federal funds, and whose sports teams may play on local, publicly owned fields. Despite this complexity, however, it is possible to describe the broad contours of American education.
Many Choices
Almost 90 percent of American students below the college level attend public elementary and secondary schools, which do not charge tuition but rely on local and state taxes for funding. Traditionally, elementary school includes kindergarten through the eighth grade. In some places, however, elementary school ends after the sixth grade, and students attend middle school, or junior high school, from grades seven through nine. Similarly, secondary school, or high school, traditionally comprises grades nine through twelve, but in some places begins at the tenth grade.

Most of the students who do not attend public elementary and secondary schools attend private schools, for which their families pay tuition. Four out of five private schools are run by religious groups. In these schools religious instruction is part of the curriculum, which also includes the traditional academic courses. (Religious instruction is not provided in public schools. [...]) There is also a small but growing number of parents who educate their children themselves, a practice known as home schooling.

The United States does not have a national school system. Nor, with the exception of the military academies (for example, the U.S. Naval Academy in Annapolis, Maryland), are there schools run by the federal government. But the government provides guidance and funding for federal educational programs in which both public and private schools take part, and the U.S. Department of Education oversees these programs.

In American parlance, a college is a four-year institution of higher learning that offers courses in related subjects. A liberal arts college, for example, offers courses in literature, languages, history, philosophy, and the sciences, while a business college offers courses in accounting, investment, and marketing. Many colleges are independent and award bachelor’s degrees to those completing a program of instruction that typically takes four years. But colleges can also be components of universities. A large university typically comprises several colleges, graduate programs in various fields, one or more professional schools (for example, a law school or a medical school), and one or more research facilities. (Americans often use the word “college” as shorthand for either a college or a university.)

Every state has its own university, and some states operate large networks of colleges and universities: The State University of New York, for instance, has more than 60 campuses in New York State. Some cities also have their own public universities. In many areas, junior or community colleges provide a bridge between high school and four-year colleges for some students. In junior colleges, students can generally complete their first two years of college courses at low cost and remain close to home.

Unlike public elementary and secondary schools, public colleges and universities usually charge tuition. However, the amount often is much lower than that charged by comparable private institutions, which do not receive the same level of public support. Many students attend college – whether public or private – with the benefit of federal loans that must be repaid after graduation.

About 25 percent of colleges and universities are privately operated by religious groups. Most of these are open to students of all faiths. There are also many private institutions with no religious ties. Whether public or private, colleges depend on three sources of income: student tuition, endowments (gifts made by benefactors), and government funding.

There is no clear distinction between the quality of education provided at public and private colleges or institutions. The public universities of California and Virginia, for example, are generally rated on a par with the Ivy League, an association of eight prestigious private schools in the northeastern United States. This does not mean that all institutions are equal, however. A student who has graduated from a highly regarded college may have a distinct advantage as he or she seeks employment. Thus, competition to get into the more renowned schools can be intense.

 A college student takes courses in his or her “major” field (the area of study in which he or she chooses to specialize), along with “electives” (courses that are not required but chosen by the student). It has been estimated that American colleges and universities offer more than 1,000 majors.
Education, A Local Matter
From Hawaii to Delaware, from Alaska to Louisiana, each of the 50 states has its own laws regulating education. From state to state, some laws are similar while others are not. For example:

  • All states require young people to attend school. The age limit varies, however. Most states require attendance up to age 16, some up to 18. Thus, every child in America receives at least 11 years of education. This is true regardless of a child’s sex, race, religion, learning problems, physical handicaps, ability to speak English, citizenship, or status as an immigrant. (Although some members of Congress have advocated permitting the states to deny public education to children of illegal immigrants, such a proposal has not become law.)
  • Some states play a strong central role in the selection of learning material for their students. For example, state committees may decide which textbooks can be purchased with state funds. In other states, such decisions are left to local school officials.

Although there is no national curriculum in the United States, certain subjects are taught in virtually all elementary and secondary schools throughout the country. Almost every elementary school, for example, teaches mathematics; language arts (including reading, grammar, writing, and literature); penmanship; science; social studies (including history, geography, citizenship, and economics); and physical education. In many schools, children are taught how to use computers, which have also become integral parts of other courses.

In addition to required courses – for example, a year of American history, two years of literature, etc. – secondary schools, like colleges, typically offer electives. Popular electives include performing arts, driver’s education, cooking, and “shop” (use of tools, carpentry, and repair of machinery).

Changing Standards
 Until the 1950s required courses were many, electives few. In the 1960s and 1970s, the trend was to give students more choices. By the 1980s, however, parents and educators were taking a second look at this practice. The primary reason for their concern was the possible connection between the growth of electives and the slow but steady decline of American students’ average scores on standardized tests of mathematics, reading, and science.

At the same time, college administrators and business executives began to complain that some high school graduates needed remedial courses in the so-called three R’s: reading, writing, and arithmetic. About 99 percent of American adults reported in the 1980 census that they could read and write. But critics claimed that about 13 percent of America’s 17-year-olds were “functionally illiterate.” That is, they were unable to carry out such everyday tasks as understanding printed instructions and filling out a job application.

Experts scrutinized every conceivable cause for the decline in average scores in the early 1980s. One target was television, which was accused of producing mediocre programs. And American children, critics said, watched too much TV, an average of 25 hours a week. School boards were criticized for paying teachers too little, with the result that good ones tended to leave the field of education, and for giving students easier material to work with so that all of them could get a diploma – a phenomenon known as “dumbing down” the curriculum.

No single cause was identified for what ailed American secondary education. Similarly, there was no one solution. The U.S. Department of Education established a national commission to examine the question. In 1983 the com-mission made several recommendations: lengthen the school day and year, formulate a new core curriculum for all students (four years of English; three years each of math, science, and social studies; a half-year of computer science), and raise the standards of performance in each subject. As a result, many schools have tightened their requirements, and test scores for American children have been rising.

 In 1989 President George Bush and the governors of all 50 states gave the movement to reform American education a new impetus when they set six goals to be achieved by the year 2000:

  • That all children will start school ready to learn.
  • That 90 percent of all high school students will graduate.
  • That all students will achieve competence in core subjects at certain key points in their progress.
  • That American students will be first in the world in math and science achievement.
  • That every American adult will be literate and have the skills to function as a citizen and a worker.
  • That all schools will be free of drugs and violence and offer a disciplined environment that is conducive to learning.

Congress established a program called Goals 2000, by which the states receive federal grants to help them reach the goals. By 1996, progress had been made – 86 percent of American students completed high school, scores on national math and science tests had gone up one full grade, and half of all four-year-olds attended programs to prepare them for school.

Meanwhile, there has been an effort to establish national standards in math, science, English, and history – an endeavor that President Bill Clinton strongly supports. Speaking to the National Governors Association education summit in 1996, he said, “I believe the most important thing you can do is to have high expectations for students – to make them believe they can learn, ... to assess whether they’re learning or not, and to hold them accountable as well as to reward them.”
Social Issues in American Schools
In addition to the challenge to be excellent, American schools have been facing novel problems. They must cope with an influx of immigrant children, many of whom speak little or no English. They must respond to demands that the curriculum reflect the various cultures of all children. Schools must make sure that students develop basic skills for the job market, and they must consider the needs of nontraditional students, such as teenage mothers.

Schools are addressing these problems in ways that reflect the diversity of the U.S. educational system. They are hiring or training large numbers of teachers of English as a second language and, in some communities, setting up bilingual schools. They are opening up the traditional European-centered curriculum to embrace material from African, Asian, and other cultures.

Schools are also teaching cognitive skills to the nearly 40 percent of American students who do not go on to higher education. In the words of a recent report by the Commission on Achieving Necessary Skills, “A strong back, the willingness to work, and a high school diploma were once all that was necessary to make a start in America. They are no longer. A well-developed mind, a continued willingness to learn and the ability to put knowledge to work are the new keys to the future of our young people, the success of our business, and the economic well-being of the nation.”
 A Snapshot of American Higher Education

The United States leads the industrial nations in the proportion of its young people who receive higher education. For some careers – law, medicine, education, engineering – a college education is a necessary first step. More than 60 percent of Americans now work in jobs that involve the handling of information, and a high school diploma is seldom adequate for such work. Other careers do not strictly require a college degree, but having one often can improve a person’s chances of getting a job and can increase the salary he or she is paid.

The widespread availability of a college education in America dates back to 1944, when Congress passed a law popularly known as the GI Bill. (GI – meaning “government issue” – was a nickname for an American soldier, and the law provided financial aid to members of the armed forces after World War II was over.) By 1955 more than 2 million veterans of World War II and the Korean War had used the GI Bill to go to college. Many of them came from poor families and would not have had the chance to go to college without the law. The program’s success changed the American image of who should attend college.

About the same time, the percentage of women in American colleges began to grow steadily; in 1993 women received 54 percent of all degrees awarded, compared to 24 percent in 1950. With the end of racial segregation in the 1950s and 1960s, African Americans also entered colleges in record numbers. The percentage of African Americans who go on to college, however, is still lower than the general population. In 1992, 47.9 percent of African-American high school graduates were enrolled in college, compared with 61.7 percent of all high school graduates.

Liberal or Vocational Education?
 Like high schools, American colleges are some-times criticized for discarding required courses and offering too many electives. In the mid-1980s the Association of American Colleges issued a report that called for teaching a body of common knowledge to all college students. A similar report, “Involvement in Learning,” issued by the National Institute of Education, concluded that the college curriculum had be-come “excessively ... work-related.” The report also warned that college education may no longer be developing in students “the shared values and knowledge” that traditionally bind Americans together.

These reports coincided with a trend away from the liberal arts. Instead, students were choosing major fields designed to prepare them for specific jobs. In 1992, 51 percent of the bachelor’s degrees were conferred in the fields of business and management, communications, computer and information sciences, education, engineering, and health sciences.

This trend raises questions that apply to the educational philosophy of all industrialized countries. In an age of technological breakthroughs and highly specialized disciplines, is there still a need for the generalist with a broad background and well-developed abilities to reason and communicate? And if the answer to that question is yes, should society take steps to encourage its colleges and universities to produce more such generalists? Like their counterparts in other countries, American educators continue to debate these questions.

PENGANGGURAN

Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

 PENYEBAB PENGANGGURAN

Mendapat predikat lulusan terbaik dari suatu universitas bukan menjadi jaminan untuk bisa langsung bekerja. Indeks prestasi (IP) tinggi di atas 3,5 pun bukan jaminan bagi para sarjana segera mendapatkan pekerjaan. Mereka harus keluar masuk kantor mengantarkan lamaran dengan harapan ada lowongan pekerjaan untuk mereka. Malah, dengan alasan mencari pengalaman dulu, para sarjana itu rela bekerja apa saja meski bergaji kecil dan tidak sesuai dengan ilmu yang dipelajari. Dan yang jelas, mereka tidak ingin mendapat gelar baru, yakni ”sarjana pengangguran.” itulah sepatah laporan yang dipaparkan oleh sinar harapan.

sebenarnya apasih penyebab yang menimbulkan seseorang yang punya intelegensi tinggi juga tidak punya kesempatan untuk bekerja??? ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak mendapat pekerjaan.

  1. Kurangnya informasi
  2. Tidak adanya sistem penerimaan publik
  3. Sulit menerapkan kepintarannya dalam dunia pekerjaan
Hal inilah yang paling besar pengaruhnya dalam dunia kerja sekarang ini, kurangnya informasi dapat menjadi faktor yang paling berpengaruh, hal ini diakibatkan keadaan lingkungan tempat tinggal yang tidak memungkinkan untuk terus meng update informasi tentang lowongan pekerjaan.

Selain itu faktor penerimaan yang bisa disebut "diam-diam" juga sangat berpengaruh, dimana sekarang banyak perusahaan yang mengutamakan standar Univesiti daripada standar keahlian masing-masing pelamar kerja.

Ada juga pengaruh sulitnya membedakan antara kuliah dengan kerja, ini disebakan pengalaman seorang tenaga kerja yang masih belum terasah, maka diperlukan sistem perkuliahan yang bisa mendukung keahlian seseorang dan dapat langsung diterapkan didunia kerja, tapi lagi-lagi pengaruh nama universitas besar tetap tidak dapat di kesampingkan.


SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran                  http://bangaisabe.blogspot.com/2008/11/pengangguran-di-indonesia-semakin.html

Selasa, 29 Maret 2011

STRATEGI DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA DIMASA YANG AKAN DATANG
                                                                                                                                          
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan luas wilayah hampir 2 juta km2 dan berpenduduk lebih 206 juta jiwa pada tahun 2000, memiliki potensi sumberdaya alam baik di laut (marine natural resources) dan di darat (land natural resources) yang sangat besar. Kenyataan bahwa sumberdaya yang berlimpah tersebut tidak merata berada di seluruh daerah. Hal yang sama terjadi dengan sebaran sumberdaya manusia yang merupakan “aktor” pembangunan tersebar juga tidak merata. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya yang berlimpah tetapi tidak merata tersebut bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan dan menjamin kesejahteraan umum secara luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah yang tertinggal. Oleh sebab itu perlu adanya strategi dan perencanaan yang baik untuk memperbaiki semuanya.
          Ciri-ciri perencanaan pembangunan ekonomi :
·         Usaha mencapai perkembangan sosial ekonomi mantap (Steady social economic growth). Tercermin pada pertumbuhan ekonomi positif.
·         Usaha meningkatkan pendapatan
·         Usaha perubahan struktur ekonomi ; Usaha diversifikasi ekonomi
·         Usaha perluasan kesempatan kerja
·         Usaha pemerataan pembangunan ; DISTRIBUTIVE JUSTICE
·         Usaha pembinaan lembaga ekonomi masyarakat
·         Usaha terus menerus menjaga stabilitas ekonomi

FUNGSI PERENCANAAN :
1.  Terdapat pengarahan kegiatan, pedoman kegiatan kpd pencapain tujuan pemb.
2.  Terdapat perkiraan potensi, prospek perkembangan, hambatan & risiko masa y.a.d.
3.   Memberi kesempatan mengadakan pilihan terbaik
4.   Dilakukan penyusunan skala priorotas dari segi pentingnya tujuan
5.   Sebagai alat mengukur / standar thd pengawasan evaluasi.

Dari sudut pandang ekonomi, perlunya perencanaan adalah :
1.     Agar penggunaan sumber pembangunan terbatas dapat efesien dan efektif, shg terhindar dari pemborosan.
2.    Agar perkembangan / pertumbuhan ekonomi menjadi mantap
3.    Agar tercapai stabilitas ekonomi dalam menghadapi siklus konjungtur.

Syarat-syarat keberhasilan suatu perencanaan pembangunan :
1.     Komisi perencanaan ; terorganisir dan ahli.
2.    Data statistik
3.    Tujuan
4.    Penetapan sasaran & prioritas ; secara makro dan sektoral
5.    Mobilisasi sumber daya ; luar negeri & dalam negeri (Saving, Laba & Pajak)
6.    Kesinambungan perencanaan.
7.    Sistim administrasi yang efesien ; kuat, tidak korup (Lewis)
8.    Kebijaksanaan pembangunan yg tepat
9.    Administrasi yg ekonomis
10. Dasar pendidikan.
11.  Teori konsumsi; menurut GALBRAITH (1962)
12. Dukungan masyarakat; rencana nasional
Pembangunan ekonomi dapat lebih baik jika adanya perbaikan disegala bidang yaitu :
1.     Mengurangi jumlah tabungan yg diciptakan anggota masyarakat
2.    Corak penanaman modal lebih banyak untuk pendidikan dan sarana sosial
3.    Pemerataan pendapatan terjadi jurag antara golongan masyarakat
4.    Strategi pemulihan teknologi yang akan digunakan
5.     Mempercepat kenaikan produksi barang makanan
6.    Perkembangan ekspor impor, ekspor      impor
 
SUMBER PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
1.    Tabungan Dalam Negeri
Sumber : Tabungan perusahaan & Tabungan rumah tangga
Tabunga Luar Negeri
Sumber : Tabungan pemerintah asing (LN) dan tabungan swasta asing
2.    Investasi dan Pertumbuhan
3.    Effisiensi penggunaan modal
4.    Sumber dana dari luar negeri : pemerintah / swasta
5.    Bantuan luar negeri

Lembaga-Lembaga Bantuan Internasional
1.    The Asian Development Bank (ADB)
2.    Bank Dunia (World Bank) : IMF Badan Perwakilan Bank Dunia.

DAMPAK BANTUAN LUAR NEGERI TERHADAP PEMBANGUNAN
Pendekatan Two Gap Model : Bantuan dan tabungan luar negeri penyumbang terbesar untuk investasi atau memperbesar impor (memperoleh devisa).
·         Kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan negara penerima bantuan tidak begitu tinggi. (Pendekatan Harod Domar kurang tepat).
·         NYSB mengalami kekurangan input komplemen ; kecakapan tenaga kerja, kapasitas administratif, infrastruktur, institusi ekonomi & stabilitas politik. Tingkat tabungan tinggi tidak mampu mendorong pertumbuhan.
·         Bantuan luar negeri tidak dapat menyumbang kenaikan tabungan / impor.
·         Bantuan luar negeri tidak menambah tabungan domestik, shg menaikan konsumsi & impor dan menurunkan investasi & ekspor.

     Menurut teori ekonomi bantuan menaikan konsumsi dan investasi.

MANFAAT INVESTASI ASING
1.  Menciptakan perluasan kerja
2.  Proses alih teknologi & keterampilan yg bermanfaat, Know How
3.  Sebagai sumber tabungan / devisa

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN NYSB THD INVESTASI ASING
Menggunakan Kebijakan Restriktif :
1.  Prasyarat kinerja
2.  Hukum Kejenuhan (Saturation)
3.  Pengendalian Repatriasi Laba

Menggunakan Kebijakan Insentif (Rangsangan) adalah pajak.

PINJAMAN KOMERSIAL
Sumber dana luar negeri yang sangat cepat perkembangannya adalah pinjaman swasta, berasal dari 3 sumber :
1.  BOND LENDING
Bentuk investasi portofolio, pembelian saham perusahaan-perusahaan NSB oleh pihak asing
2.  PINJAMAN KOMERSIAL
     Dari bank-bank luar negeri, pasar EUROCURRENCY.
3.  KREDIT EKSPOR

PETA PEREKONOMIAN DI PULAU KALIMANTAN( BALIK PAPAN)

Peta Perekonomian Kalimantan (Balikpapan)

# Kalimantan Timur (Balikpapan)


- Keadaan Geografis


Kota Balikpapan memiliki wilayah 85% berbukit-bukit serta 12% berupa daerah datar yang sempit yang terutama berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sungai kecil serta pesisir pantai. Dengan kondisi tanah yang bersifat asam (gambut) serta dominan tanah merah yang kurang subur. Sebagaimana layaknya wilayah lain di Indonesia, kota ini juga beriklim tropis. Kota ini berada di pesisir timur Kalimantan yang langsung berbatasan degan Selat Makassar, memiliki teluk yang dapat dimanfaatkan sebagai pelabuhan laut komersial dan pelabuhan minyak.


- Kependudukan


Suku-suku yang ada di Balikpapan adalah:


1. Suku Paser        8,77%

2. Suku Kutai         10,43%
3. Suku Banjar         12,19%
4. Suku Bugis         14,44%
5. Suku Jawa         29,76%
6. Suku Minahasa     6,81%
7. Suku Batak         3,21%
8. Suku Aceh         2,08%
9. Suku Gayo         1,08%
10.Etnis China         16,76%
11.Suku Gorontalo     0,06%


- Mata Pencaharian


Perekonomian kota ini bertumpu pada sektor industri yang didominasi oleh industri minyak dan gas, perdagangan dan jasa. Kota ini memiliki bandar udara berskala internasional, yakni Bandara Sepinggan serta Pelabuhan Semayang selain pelabuhan minyak yang dimiliki Pertamina.


Dengan semakin tumbuhnya perekonomian terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah, kota ini terus dibanjiri oleh pendatang dari berbagai daerah, sehingga pemerintah kotamadya memberlakukan operasi kependudukan berupa operasi Kartu Tanda Penduduk. Penduduk terutama dari etnis pendatang yang sudah lama menetap di Balikpapan yakni berasal dari etnis Jawa Timur, Banjar, Bugis, Makassar kemudian pendatang lain yang di antaranya beretnis Madura, Manado, Gorontalo, Jawa, Sunda dan lain-lain. Selain dibanjiri oleh banyak pendatang, banyak perusahan-perusahaan asing dan lokal yang berinvestasi di Balikpapan. Hal ini semakin membuat Kota Balikpapan sebagai kota yang paling maju di Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur.


- Pariwisata


Kota Balikpapan memiliki daerah wisata yang cukup banyak dan beragam, diantaranya adalah:


1. Taman Agrowisata, diresmikan tanggal 17 Desember 1997 oleh Bapak Tri Sutrisno, berlokasi di Jl. Soekarno Hatta km 23, dengan luas 100 ha dan memiliki berbagai koleksi tanaman tropis serta dilengkapi dengan tempat piknik terbuka, rumah panjang Dayak, tempat berkemah dan pemandangan alami, dilengkapi play ground, shelter, tempat parkir, mushola dan play group, dapat dikunjungi dengan angkutan kota trayek nomor 8.


2. Wana Wisata Km 10 adalah taman arboretum yang dibangun oleh PT. Inhutani I Unit Balikpapan, dengan berbagai jenis pohon hutan dan buah-buahan langka, sebagai tempat berkemah dan jogging yang sejuk dan alami, dilengkapi gedung pertemuan, pusat informasi, gazebo, play ground dan warung kaki lima, dapat ditempuh dengan angkutan kota trayek nomor 8.


3. Karang Joang Resort, Golf dan Country Club Balikpapan, yaitu padang Golf Kariangau terletak di Kelurahan Karang Joang, tidak jauh dari sungai Wain, terdapat drive rain, hotel berbintang dengan teras dan pembakaran barbeque, club house dengan kolam renang dan activity room dengan karaoke, meja bilyard, bar dan ruangan dengan acara khusus serta tersedia menu masakan Tionghoa, Eropa dan Indonesia, dapat dipesan pada Resort & Golf Karang Joang, Jl. Soekarno Hatta Km 5,5 Balikpapan.


4. Jembatan Ulin Kariangau merupakan jembatan ulin terpanjang dengan panjang 800 m dan lebar 2 m, terletak 11 km dari pusat kota Balikpapan, terdapat hutan bakau dengan pemandangan lepas ke teluk Balikpapan dengan aktivitas nelayan dan kapal-kapal yang melintas dari pelabiuhan Somber menuju Pelabuhan Penajam.


5. Pantai Manggar Segarasari merupakan tempat rekreasi pantai terletak 22 km dari pusat Kota Balikpapan tepatnya di kecamatan Balikpapan Timur. Di sana terdapat shelter, banana boat, speed boat, ruang informasi dan warung kaki lima. Pantai ini dapat dicapai dengan angkutan kota trayek nomor 7.


6. Hutan Lindung Sungai Wain merupakan hutan lindung dengan luas 10.025 ha yang dilalui sungai Wain yang panjangnya 18.300 m dengan airnya yang jernih dengan hutan bakau dan habitat burung, ikan , kepiting dan orang hutan.


7. Panorama Dermaga Penyeberangan Somber, dapat dicapai dengan trayek angkutan kota nomor 3.


8. Penangkaran Buaya


9. Monumen Jepang


10.Monumen Perjuangan Rakyat


11.Perkebunan Salak


12.Tugu Peringatan Divisi 7 Australia


13.Kilang Minyak Balikpapan


14.Monumen Mathilda


15.Taman Bekapai


16.Pantai Melawai


17.Pantai Polda


18.Pantai Strans (Pantai Banua Patra)


19.Goa Jepang


20.Meriam Peninggalan Jepang


21.Kampung Atas Air (kampung Baru)


22.Museum Tanjungpura


23.Lapangan Merdeka



Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Balikpapan 
http://blog-deasyrouli.blogspot.com/2011/03/strategi-dan-perencanaan-pembangunan.html